Pengertian
tentang museum dari zaman ke zaman selalu berubah. Hal ini disebabkan museum
senantiasa mengalami perubahan tugas dan kewajibannya. Museum merupakan suatu
gejala sosial atau kultural dan mengikuti sejarah perkembangan masyarakat dan
kebudayaan yang menggunakan museum itu sebagai prasarana sosial atau
kebudayaan.
Museum
berakar dari kata Latin museion, yaitu kuil untuk sembilan dewi Muse, anak-anak
Dewa Zeus yang tugas utamanya adalah menghibur. Dalam perkembangannya museum
menjadi tempat kerja ahli-ahli pikir zaman Yunani kuno, seperti Pythagoras dan
Plato. Mereka menganggap museion adalah tempat penyelidikan dan pendidikan
filsafat, sebagai ruang lingkup ilmu dan kesenian. Dengan kata lain tempat
pembaktian diri terhadap ke sembilan Dewi Muse tadi. Museum yang tertua sebagai
pusat ilmu dan kesenian terdapat di Iskandarsyah.
Lama-kelamaan
gedung museum tersebut, yang pada mulanya tempat pengumpulan benda-benda dan
alat-alat yang diperlukan bagi penyelidikan ilmu dan kesenian, berubah menjadi
tempat mengumpulkan benda-benda yang dianggap aneh. Perkembangan ini meningkat
pada abad pertengahan. Kala itu yang disebut museum adalah tempat benda-benda
pribadi milik pangeran, bangsawan, para pencipta seni dan budaya, serta para
pencipta ilmu pengetahuan. Kumpulan benda (koleksi) yang ada mencerminkan minat
dan perhatian khusus pemiliknya.
Benda-benda
hasil seni rupa ditambah benda-benda dari luar Eropa merupakan modal yang kelak
menjadi dasar pertumbuhan museum-museum besar di Eropa. “Museum” ini jarang
dibuka untuk masyarakat umum karena koleksinya menjadi ajang prestise dari
pemiliknya dan biasanya hanya diperlihatkan kepada para kerabat atau
orang-orang dekat. Museum juga pernah diartikan sebagai kumpulan ilmu pengetahuan
dalam karya tulis seorang sarjana. Ini terjadi di zaman ensiklopedis yaitu
zaman sesudah Renaissance di Eropa Barat, ditandai oleh kegiatan orang-orang
untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan mereka tentang manusia, berbagai
jenis flora maupun fauna serta tentang bumi dan jagat raya di sekitarnya.
Gejala berdirinya museum tampak pada akhir abad ke-18 seiring dengan
perkembangan pengetahuan di Eropa. Negeri Belanda yang merupakan bagian dari
Eropa dalam hal ini juga tidak ketinggalan dalam upaya mendirikan museum.
Perkembangan
museum di Belanda sangat mempengaruhi perkembangan museum di Indonesia. Diawali
oleh seorang pegawai VOC yang bernama G.E. Rumphius yang pada abad ke-17 telah
memanfaatkan waktunya untuk menulis tentang Ambonsche Landbeschrijving yang
antara lain memberikan gambaran tentang sejarah kesultanan Maluku, di samping
penulisan tentang keberadaan kepulauan dan kependudukan. Memasuki abad ke-18
perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan, baik pada masa VOC maupun
Hindia-Belanda, makin jelas. Pada 24 April 1778 berdiri Bataviaach Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen. Lembaga tersebut berstatus setengah resmi,
dipimpin oleh dewan direksi. Pasal 3 dan 19 Statuten pendirian lembaga tersebut
menyebutkan bahwa salah satu tugasnya adalah memelihara museum yang meliputi:
pembukuan (boekreij); himpunan etnografis; himpunan kepurbakalaan; himpunan
prehistori; himpunan keramik; himpunan muzikologis; himpunan numismatik, pening
dan cap-cap; serta naskah-naskah (handschriften), termasuk perpustakaan.
Lembaga
tersebut mempunyai kedudukan penting bukan saja sebagai perkumpulan ilmiah,
tetapi juga karena para anggota pengurusnya terdiri dari tokoh-tokoh penting
dari lingkungan pemerintahan, perbankan dan perdagangan. Yang menarik dalam
pasal 20 Statuten menyatakan bahwa benda yang telah menjadi himpunan museum
atau Genootschap tidak boleh dipinjamkan dengan cara apapun kepada pihak ketiga
dan anggota-anggota atau bukan anggota untuk dipakai atau disimpan, kecuali
mengenai perbukuan dan himpunan naskah-naskah (handschiften) sepanjang
peraturan membolehkan.
Pada waktu
Inggris mengambil alih kekuasan dari Belanda, Raffles sendiri yang langsung
mengepalai Batavia Society of Arts and Sciences. Kegiatan perkumpulan itu tidak
pernah berhenti, bahkan Raffles memberi tempat yang dekat dengan istana
Gubernur Jendral yaitu di sebelah Harmoni (Jl. Majapahit No. 3 sekarang).
Selama
kolonial Inggris nama lembaga diubah menjadi Literary Society. Namun ketika
Belanda berkuasa kembali, diganti pada nama semula, Bataviaasch Genootschap Van
Kunsten en Watenschappen dan memusatkan perhatian pada ilmu kebudayaan,
terutama ilmu bahasa, ilmu sosial, ilmu bangsa-bangsa, ilmu purbakala, dan ilmu
sejarah. Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan alam mendorong berdirinya
lembaga-lembaga lain. Di Batavia anggota lembaga bertambah terus, perhatian di
bidang kebudayaan berkembang dan koleksi meningkat jumlahnya, sehingga gedung
di Jl. Majapahit menjadi sempit. Pemerintah kolonial Belanda membangun gedung
baru di Jl. Merdeka Barat No. 12 pada 1862. Karena lembaga tersebut sangat
berjasa dalam penelitian ilmu pengetahuan, maka pemerintah Belanda memberi
gelar “Koninklijk Bataviaasche Genootschap Van Kunsten en Watenschappen”.
Lembaga yang menempati gedung baru tersebut telah berbentuk museum kebudayaan
yang besar dengan perpustakaan yang lengkap (sekarang Museum Nasional).
Sejak
pendirian Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen untuk pengisian
koleksi museumnya telah diprogramkan antara lain berasal dari koleksi
benda-benda bersejarah dan kepurbakalaan baik dari kalangan pemerintah maupun
masyarakat. Semangat itu telah mendorong untuk melakukan upaya pemeliharaan,
penyelamatan, pengenalan bahkan penelitian terhadap peninggalan sejarah dan
purbakala. Kehidupan kelembagaan tersebut sampai masa Pergerakan Nasional masih
aktif bahkan setelah Perang Dunia I. Masyarakat setempat didukung Pemerintah
Hindia Belanda menaruh perhatian terhadap pendirian museum di beberapa daerah
di samping yang sudah berdiri di Batavia, seperti Lembaga Kebun Raya Bogor yang
terus berkembang di Bogor. Von Koenigswald mendirikan Museum Zoologi di Bogor
pada 1894. Lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang bernama Radyapustaka
(sekarang Museum Radyapustaka) didirikan di Solo pada 28 Oktober 1890, Museum
Geologi didirikan di Bandung pada 16 Mei 1929, lembaga bernama Yava Instituut
didirikan di Yogyakarta pada 1919 dan dalam perkembangannya pada 1935 menjadi
Museum Sonobudoyo. Mangkunegoro VII di Solo mendirikan Museum Mangkunegoro pada
1918. Ir. H. Maclaine Pont mengumpulkan benda purbakala di suatu bangunan yang
sekarang dikenal dengan Museum Purbakala Trowulan pada 1920. Pemerintah
kolonial Belanda mendirikan Museum Herbarium di Bogor pada 1941.
Di luar Pulau
Jawa, atas prakarsa Dr.W.F.Y. Kroom (asisten residen Bali) dengan raja-raja,
seniman dan pemuka masyarakat, didirikan suatu perkumpulan yang dilengkapi
dengan museum yang dimulai pada 1915 dan diresmikan sebagai Museum Bali pada 8
Desember 1932. Museum Rumah Adat Aceh didirikan di Nanggroe Aceh Darussalam
pada 1915, Museum Rumah Adat Baanjuang didirikan di Bukittinggi pada 1933,
Museum Simalungun didirikan di Sumatera Utara pada 1938 atas prakarsa raja
Simalungun.
Sesudah
kemerdekaan Indonesia 1945 keberadaan museum diabadikan pada pembangunan bangsa
Indonesia. Para ahli bangsa Belanda yang aktif di museum dan lembaga-lembaga
yang berdiri sebelum 1945, masih diizinkan tinggal di
Memburuknya
hubungan Belanda dan Indonesia akibat sengketa Papua Barat mengakibatkan
orang-orang Belanda meninggalkan Indonesia, termasuk orang-orang pendukung
lembaga tersebut. Sejak itu terlihat proses Indonesianisasi terhadap berbagai
hal yang berbau kolonial, termasuk pada 29 Februari 1950 Bataviaach Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen yang diganti menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia
(LKI). LKI membawahkan dua instansi, yaitu museum dan perpustakaan. Pada 1962
LKI menyerahkan museum dan perpustakaan kepada pemerintah, kemudian menjadi
Museum Pusat beserta perpustakaannya. Periode 1962-1967 merupakan masa sulit
bagi upaya untuk perencanaan mendirikan Museum Nasional dari sudut
profesionalitas, karena dukungan keuangan dari perusahaan Belanda sudah tidak
ada lagi. Di tengah kesulitan tersebut, pada 1957 pemerintah membentuk bagian
Urusan Museum. Urusan Museum diganti menjadi Lembaga Urusan Museum-Museum
Nasional pada 1964, dan diubah menjadi Direktorat Museum pada 1966. Pada 1975,
Direktorat Museum diubah menjadi Direktorat Permuseuman.
Pada 17
September 1962 LKI dibubarkan, Museum diserahkan pada pemerintah Indonesia
dengan nama Museum Pusat di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Museum Pusat diganti namanya menjadi Museum Nasional pada 28 Mei 1979.
Penyerahan
museum ke pemerintah pusat diikuti oleh museum-museum lainnya. Yayasan Museum
Bali menyerahkan museum ke pemerintah pusat pada 5 Januari 1966 dan langsung di
bawah pengawasan Direktorat Museum. Begitu pula dengan Museum Zoologi, Museum
Herbarium, dan museum lainnya di luar Pulau Jawa mulai diserahkan kepada
pemerintah Indonesia. Sejak museum-museum diserahkan ke pemerintah pusat,
museum semakin berkembang. Bahkan museum baru pun bermunculan, baik
diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh yayasan-yayasan swasta.
Perubahan
politik akibat gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa pada 1998,
telah mengubah tata negara Republik Indonesia. Perubahan ini memberikan dampak
terhadap permuseuman di Indonesia. Direktorat Permuseuman diubah menjadi
Direktorat Sejarah dan Museum di bawah Departemen Pendidikan Nasional pada
2000. Pada 2001, Direktorat Sejarah dan Museum diubah menjadi Direktorat
Permuseuman. Susunan organisasi diubah menjadi Direktorat Purbakala dan
Permuseuman di bawah Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata pada 2002.
Direktorat Purbakala dan Permuseuman diubah menjadi Asdep Purbakala dan
Permuseuman pada 2004. Akhirnya pada 2005, dibentuk kembali Direktorat Museum
di bawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata. (Tim Direktorat Museum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar